Usiaku sudah hampir mencapai kepala tiga, ya… sekitar 2 tahunan lagi
lah. Aku tinggal bersama mertuaku yang sudah lama ditinggal mati
suaminya akibat penyakit yang dideritanya. Dari itu istriku berharap aku
tinggal di rumah supaya kami tetap berkumpul sebagai keluarga tidak
terpisah. Di rumah itu kami tinggal 6 orang, ironisnya hanya aku dan
anak laki-lakiku yang berumur 1 tahun berjenis kelamin cowok di rumah
tersebut, lainnya cewek.
Awal September lalu aku tidak berkerja lagi karena mengundurkan diri.
Hari-hari kuhabiskan di rumah bersama anakku, maklumlah ketika aku
bekerja jarang sekali aku dekat dengan anakku tersebut. Hari demi hari
kulalui tanpa ada ketakutan untuk stok kebutuhan bakal akan habis, aku
cuek saja bahkan aku semakin terbuai dengan kemalasanku.
Pagi sekitar pukul 8 wib, baru aku terbangun dari tidur. Kulihat anak
dan istriku tidak ada disamping, ah… mungkin lagi di beranda cetusku
dalam hati. Saat aku mau turun dari tempat tidur terdengar suara jeritan
tangis anakku menuju arah pintu. seketika itu pula pintu kamar terbuka
dengan tergesanya. Oh… ternyata dia bersama tantenya Liza yang tak lain
adalah adik iparku, rupanya anakku tersebut lagi pipis dicelana. Liza
mengganti celana anakku, “Kemana mamanya, Za…?” tanyaku. “Lagi ke pasar
Bang”jawabnya “Emang gak diberi tau, ya?”timpalnya lagi. Aku melihat
Liza pagi itu agak salah tingkah, sebentar dia meihat kearah bawah
selimut dan kemudian salah memakaikan celana anakku.
“Kenapa kamu”tanyaku heran “Anu bang…”sambil melihat kembali ke bawah.
“Oh… maaf ya, Za”terkejut aku, rupanya selimut yang kupakai tidur sudah
melorot setengah pahaku tanpa kusadari, aku lagi bugil. Hmmm… tadi malam
abis tempur sama sang istri hingga aku kelelahan dan lupa memakai
celana.
Anehnya, Liza hanya tersenyum, bukan tersenyum malu, malah beliau
menyindir “Abis tempur ya, Bang. Mau dong…”katanya tanpa ragu “Haaa…”
Kontan aja aku terkejut mendengar pernyataan itu. Malah kini aku jadi
salah tingkah dan berkeringat dingin dan bergegas ke toilet kamarku.
Dua hari setelah mengingat pernyataan Liza kemarin pagi, aku tidak
habis pikir kenapa dia bisa berkata seperti itu. Setahu aku tuh anak
paling sopan tidak banyak bicara dan jarang bergaul. Ah… masa bodoh lah,
kalau ada kesempatan seperti itu lagi aku tidak akan menyia-nyiakannya.
Gimana gak aku sia-siakan, Tuh anak mempunyai badan yang sangat seksi,
Kulit sawo matang, rambut lurus panjang. Bukannya sok bangga, dia persis
kayak bintang film dan artis sinetron Luna Maya. Kembali momen yang
kutunggu-tunggu datang, ketika itu rumah kami lagi sepi-sepinya. Istri,
anak dan mertuaku pergi arisan ke tempat keluarga almahrum mertua laki
sedangkan iparku satu lagi pas kuliah. Hanya aku dan Liza di rumah.
Sewaktu itu aku ke kamar mandi belakang untuk urusan saluran air aku
berpapasan dengan Liza yang baru selesai mandi. Wow, dia hanya
menggunakan handuk menutupi buah dada dan separuh pahanya. Dia tersenyum
akupun tersenyum, seperti mengisyaratkan sesuatu.
Selagi aku menyalurkan hajat tiba-tiba pintu kamar mandi ada yang
menggedor. “Siapa?”tanyaku “Duhhhh… kan cuma kita berdua di rumah ini,
bang”jawabnya.
“Oh iya, ada apa, Za…?”tanyaku lagi
“Bang, lampu di kamar aku mati tuh”
“Cepatan dong!!”
“Oo… iya, bentar ya” balasku sambil mengkancingkan celana dan bergegas ke kamar Liza.
Aku membawa kursi plastik untuk pijakan supaya aku dapat meraih lampu
yang dimaksud. “Za, kamu pegangin nih kursi ya?” perintahku “OK, bang”
balasnya.
“Kok kamu belum pake baju?”tanyaku heran.
“Abisnya agak gelap, bang”
“ooo…!?”
Aku berusaha meraih lampu di atasku. Tiba-tiba saja entah bagaimana
kursi plastik yang ku injak oleng ke arah Liza. Dan… braaak aku jatuh ke
ranjang, aku menghimpit Liza.
“Ou…ou…”apa yang terjadi. Handuk yang menutupi bagian atas tubuhnya terbuka. “Maaf, Za”
“Gak apa-apa bang”
Anehnya Liza tidak segera menutup handuk tersebut aku masih berada
diatas tubuhnya, malahan dia tersenyum kepadaku. Melihat hal seperti
itu, aku yakin dia merespon. Kontan aja barangku tegang.
Kami saling bertatap muka, entah energi apa mengalir ditubuh kami,
dengan berani kucium bibirnya, Liza hanya terdiam dan tidak membalas.
“Kok kamu diam?”
“Ehmm… malu, Bang”
Aku tahu dia belum pernah melakukan hal ini. Terus aku melumat bibirnya
yang tipis berbelah itu. Lama-kelamaan ia membalas juga, hingga bibir
kami saling berpagutan. Kulancarkan serangan demi serangan, dengan
bimbinganku Liza mulai terlihat bisa meladeni gempuranku. Gunung kembar
miliknya kini menjadi jajalanku, kujilati, kuhisap malah kupelintir
dikit.
“Ouhh… sakit, Bang. Tapi enak kok”
“Za… tubuh kamu bagus sekali, sayang… ouhmmm” Sembari aku melanjutkan
kebagian perut, pusar dan kini hampir dekat daerah kemaluannya. Liza
tidak melarang aku bertindak seperti itu, malah ia semakin gemas
menjambak rambutku, sakit emang, tapi aku diam saja.
Sungguh indah dan harum memeknya Liza, maklum ia baru saja selesai
mandi. Bulu terawat dengan potongan tipis. Kini aku menjulurkan lidahku
memasuki liang vaginanya, ku hisap sekuatnya sangkin geramnya aku.
“Adauuu…. sakiiit” tentu saja ia melonjak kesakitan.
“Oh, maaf Za”
“Jangan seperti itu dong” merintih ia
“Ayo lanjutin lagi” pintanya
“Tapi, giliran aku sekarang yang nyerang” aturnya kemudian
Tubuhku kini terlentang pasrah. Liza langsung saja menyerang daerah
sensitifku, menjilatinya, menghisap dan mengocok dengan mulutnya.
“Ohhh… Za, enak kali sayang, ah…?” kalau yang ini entah ia pelajari
dari mana, masa bodo ahh…!!
“Duh, gede amat barang mu, Bang”
“Ohhh….”
“Bang, Liza sudah tidak tahan, nih… masukin kontol mu, ya Bang”
“Terserah kamu sayang, abang juga tidak tahan” Liza kini mengambil
posisi duduk di atas tepat agak ke bawah perut ku. Ia mulai memegang
kemaluanku dan mengarahkannya ke lubang memeknya. semula agak sulit,
tapi setelah ia melumat dan membasahinya kembali baru agak sedikit
gampang masuknya.
“Ouuu…ahhhhh….” blessss… seluruh kemaluanku amblas di dalam goa kenikmatan milik Liza.
“Aduuuh, Baaaang….. akhhhhh” Liza mulai memompa dengan menopang dadaku.
Tidak hanya memompa kini ia mulai dengan gerakan maju mundur sambil
meremas-remas payudaranya.
Hal tersebut menjadi perhatianku, aku tidak mau dia menikmatinya
sendiri. Sambil bergoyang aku mengambil posisi duduk, mukaku sudah
menghadap payudaranya. Liza semakin histeris setelah kujilati kembali
gunung indahnya.
“Akhhhh… aku sudah tidak tahan, bang. Mau keluar nih. Ahhh… ahhh… ouhhh”
“Jangan dulu Za, tahan ya bentar” hanya sekali balik kini aku sudah
berada diatas tubuh Liza, genjotan demi genjotan kulesakkan ke memeknya.
Liza terjerit-jerit kesakitan sambil menekan pantatku dengan kedua
tumit kakinya, seolah kurang dalam lagi kulesakkan.
“Ampuuuun… ahhhh… ahhhh… trus, Bang”
“Baaang… goyangnya cepatin lagi, ahhhh… dah mau keluar nih”
Liza tidak hanya merintih tapi kini sudah menarik rambut dan meremas tubuhku.
“Oughhhhh… abang juga mau keluar, Za” kugoyang semakin cepat, cepat dan
sangat cepat hingga jeritku dan jerit Liza membana di ruang kamar.
Erangang panjang kami sudah mulai menampakan akhir pertandingan ini.
“Akkhhhhhh….. ouughhhhh…. ouhhhhhh”
“Enak, Baaaangg….”
“Iya sayang…. ehmmmmmm” kutumpahkan spermaku seluruhnya ke dalam vagina
Liza dan setelah itu ku sodorkan kontol ke mulutnya, kuminta ia agar
membersihkannya.
“mmmmmmuaaachhhhh…” dikecupnya kontolku setelah dibersihkannya dan itu pertanda permainan ini berakhir, kamipun tertidur lemas.
Kesempatan demi kesempatan kami lakukan, baik dirumah, kamar mandi,
di hotel bahkan ketika sambil menggendongku anakku, ketika itu di ruang
tamu. Dimanapu Liza siap dan dimanapun aku siap.